Rabu, 05 Mei 2010
bonek bukan pedendam
Ada yang menarik dari www.bonex-cyber.web.id. Situs ini menyajikan jajak pendapat tentang kemungkinan apakah Bonek bisa berdamai dengan The Jak? Beberapa persen menjawab tidak mungkin atau sulit. Namun sebagian besar menjawab mungkin.
Saya pribadi, dengan mengacu sejarah Bonek dan suporter sepakbola Indonesia, berani mengatakan ITU SANGAT MUNGKIN TERJADI.
Dalam peta sepakbola Indonesia, sebenarnya rivalitas tradisional kesebelasan antar kota ada enam: Surabaya – Bandung – Semarang – Medan - Makassar – Jakarta. Rivalitas ini tentu saja diiringi dengan rivalitas pendukung. Namun, khusus untuk rivalitas pendukung, sejarah panjang sepakbola Indonesia hanya mencatat lima kota, yakni Surabaya – Bandung – Semarang – Medan – Makassar.
Sepakbola di empat kota ini sangat berurat dan berakar. Surabaya punya Persebaya dan Niac Mitra, Bandung punya Persib dan Bandung Raya, Semarang punya PSIS, Medan punya PSMS dan Medan Jaya, Makassar punya PSM dan Makassar Utama.
Jakarta, kendati punya Persija dan Pelita Jaya, dukungan suporter masih minim. Kota ini terlalu heterogen. Setiap kali Persija bertanding dengan salah satu kesebelasan dari empat kota lainnya, maka bisa dipastikan Senayan bukan milik mereka.
Rivalitas antar kesebelasan di tahun 1970 – 1980 hingga 1990-an ini begitu kental. Suporter sepakbola Surabaya tentu masih ingat bagaimana mereka tak pernah akur dengan bobotoh Bandung. Arek Suroboyo juga tak akur dengan Semarang. Setiap kali lewat Semarang saat hendak ke Jakarta, kereta api akan dilempari.
Bahkan dengan suporter PSIM Jogjakarta sempat terjadi keributan, dan mengakibatkan meninggalnya Suhermansyah, seorang pecinta Persebaya. Ini catatan hitam yang jangan sampai terulang lagi.
Dengan catatan begitu buruk, tak heran jika ada keraguan, bisakah suporter berakur-akur ria? Ketidakpercayaan suporter bisa saling akur bahkan membuat final Ligina V antara Persebaya dengan PSIS dipindahkan ke Manado.
Tahun berganti. Generasi suporter berganti. Keraguan itu terjawab sudah. Hari ini, Bonek Surabaya bisa bergandeng tangan dengan bobotoh Bandung. Bonek juga bisa berdampingan dengan suporter Semarang.
Terakhir, bahkan ada kabar gembira, bahwa suporter Makassar pun sempat berjabat tangan saat pertandingan Persebaya versus PSM di Tambaksari. Pertandingan berjalan damai. Di Jogja pun, Brajamusti bergandengan dengan Bonek.
Fenomena ini tentu sangat menggembirakan. Inilah yang diharapkan kita semua. Maka, janganlah heran jika saya bisa menyatakan BONEK SANGAT MUNGKIN BERDAMAI DENGAN THE JAK.
Apalagi secara tradisional sebenarnya Jakarta tak punya sejarah panjang dalam dunia suporter sepakbola sehingga harus bermusuhan dengan Bonek. Dengan Bandung dan Semarang yang musuh bebuyutan saja Bonek bisa berdamai, mengapa dengan Jakarta tidak? Kuncinya KEBESARAN HATI DUA PIHAK.
Dan sinyal positif muncul saat pertandingan antara Deltras dengan Persija. The Jak disambut hangat oleh Bonek dan Deltamania. Di situs bonek.org sambutan hangat itu muncul pula.
Bahkan, boleh saya nilai, hari ini, The Jak, Viking, Persikmania, Deltamania, suporter Semarang, dan suporter Medan adalah suporter yang santun saat mengisi guest book www.bonek.org. Mereka tidak provokatif dan cenderung bersahabat kendati diprovokasi pihak lain yang tak senang.
Bonek boleh saja disisihkan dalam acara kumpul-kumpul antar suporter. NAMUN FAKTANYA, TIDAK DIBUTUHKAN KUMPUL-KUMPUL SEHINGGA BONEK BISA BERDAMAI DENGAN SUPORTER LAIN.
Bagaimana dengan Aremania? Apakah Aremania musuh Bonek? Hmm, dalam sejarah sepakbola, Malang tak punya sejarah panjang, apalagi untuk urusan suporter sepakbola. Arema baru muncul tahun 1987, Persema baru awal 1990-an muncul.Arema juara saja baru tahun 1990-an.
Jadi, saya kira, Bonek sebenarnya sejak dulu tidak pernah memperhitungkan Malang dalam urusan suporter. Tidak ada alasan bagi Bonek memulai permusuhan dengan Malang. Ketemu dengan kesebelasan Malang di final saja tidak pernah.
Loh, kok sekarang Bonek dianggap bermusuhan dengan Aremania? Kalau untuk yang satu ini, mungkin lebih baik tidak bertanya kepada Bonek. Anda keliru bertanya pada Bonek.
Loh, kok keliru? Jelas saja keliru, karena BONEK SUDAH MEMBUKTIKAN DIRI BISA MENERIMA AREMANIA DI GELORA TAHUN 1997, meski tahun 1990-an ada pemain Persebaya bernama Nurkiman yang diketapel oknum suporter saat bermain di Malang hingga cacat.
Saat itu, tahun 1997, di gelora Tambaksari, Aremania bisa bernyanyi-nyanyi, joget kanan-kiri.
Pujian datang dari mana-mana terhadap kebesaran hati Bonek ini, kendati selanjutnya Bonek tak bisa datang ke Malang dan hari-hari ini malah diprovokasi dengan sebutan Bodoh dan Nekat oleh oknum yang mengaku-aku Aremania (semoga saja memang oknum seperti yang didengung-dengungkan jika ada kerusuhan).
Lagipula, kenapa soal permusuhan dengan Aremania, anda mesti tanya ke Bonek? Cobalah tanya ke akar rumput Sakera Pasuruan dan Persikmania kenapa mereka belum bisa berdamai dengan Aremania. Mungkin sekali waktu, anda lebih baik bertanya kepada mereka.
BONEK SUDAH MEMBUKTIKAN DIRI BUKAN PENDENDAM dan tidak ingin memprovokasi siapapun. Maka, tanggal 30 Desember 2007, saya berharap kedewasaan Bonek tetap ditunjukkan. Bonek musim ini harus lebih baik.
HATI-HATI, JANGAN SAMPAI TERPROVOKASI UNTUK ANARKIS.
TINGGAL SATU PERTANDINGAN, REK!
CIPTAKAN KEDAMAIAN.
Ada baiknya jika media massa mengingatkan momen di mana Aremania bisa diterima dengan damai di Gelora 10 November, daripada mengingat-ingat peristiwa *** Semper. ITU LEBIH MENYEJUKKAN, KAWAN!
Bonek tidak ingin gelar suporter terbaik. Menjadi lebih baik itu sudah cukup. Gelar suporter terbaik dari media massa? Silakan saja dibungkus dan diambil kalau memang Anda doyan. Di Gelora Tambaksari masih banyak kok yang jualan lumpia empuk dan maknyus, yang lebih enak dimakan dan mengenyangkan.
NB: Siapapun boleh tidak setuju dengan artikel ini. Namun, jika Anda hanya ingin menjawab artikel ini dengan provokasi, caci maki dan tanpa argumentasi historis yang panjang dan dingin, akan percuma saja. Provokasi dan caci maki terlalu murah untuk ditanggapi dan hanya bikin capek. Terima kasih. Salam damai untuk semua suporter Indonesia.
__________________
Sebut tiga kali namaku BONEK,BONEK,BONEK Asyik...!,
sriwijaya fc ngajak persipura bermain ngotot
Sriwijaya FC ajak Persipura Bermain Ngotot
Pelatih Sriwijaya FC (SFC), Rahmad Darmawan di Palembang, Selasa (4/5) mengatakan, meskipun timnya sudah tidak memiliki kepentingan lagi di ajang DISL karena kans untuk juara sudah tertutup, tapi meraih kemenangan atas tim “Mutiara Hitam” adalah suatu keharusan.
Keinginan ini serupa dengan Persipura yang menjadikan setiap laga sisa DISL sebagai laga hidup dan mati, untuk mengejar pemuncak klasemen sementara yang masih bertengger Arema Indonesia.
“Orang boleh bicara seperti itu. Tapi, sebenarnya tidak begitu. Laga melawan Persipura sangat berpengaruh bagi tim kami secara psikologis. Tentunya, menang atas Persipura memberikan nilai berbeda bagi tim kami,” ujar Rahmad.
Dalam empat kali pertemuan, kedua tim menuai hasil yang cukup berimbang dengan sama-sama meraih dua kali kemenangan dan dua kali kekalahan. Keempat pertandingan itu merupakan laga krusial untuk menentukan gelar juara bagi kedua tim. Persipura sempat meraih dua kemenangan atas SFC pada musim lalu dan berbuah gelar DISL.
Bagi SFC, kemenangan secara kontroversial pada partai final Copa musim lalu atas Persipura, membuat "Laskar Wong Kito" menorehkan sejarah dengan berhasil menjadi juara Copa dua tahun berturut-turut.
“Jujur, Persipura merupakan lawan yang benar-benar berbeda. Bagi saya pribadi, kemenangan dan kekalahan dari Persipura akan sangat berkesan,” ujar pelatih asal Metro, Lampung ini.
Rahmad menambahkan, alasannya tak lain juga karena dia adalah mantan pelatih Persipura yang sempat memberikan gelar Liga Super di tahun 2005.
Keberhasilan membawa Persipura menjadi juara bahkan menjadi tinta emas perjalanan karirnya, karena Persipura adalah tim pertama yang dilatih setelah menimba ilmu kepelatihan sepakbola di Jerman.
“Persipura adalah tim yang selalu ada di hati saya. Saya benar-benar menghargai tim ini, terutama kepada masyarakatnya yang demikian menghargai saya,” urai Rahmad.
SFC bermodalkan hasil positif setelah berhasil melibas Persiwa Wamena 4-1 di hadapan publik sendiri, Minggu (2/3), sedangkan Persipura hanya mampu bermain imbang 1-1 atas Persib Bandung pada hari yang sama.
“Kami tidak bisa bermain seperti saat melawan Persiwa yang masih memberikan banyak ruang dan peluang untuk lawan. Menghadapi Persipura tidak bisa seperti itu, karena pemain depan mereka memiliki kecepatan dan skill yang baik,” ujar pelatih berusia 43 tahun ini.
Untuk itu, Rahmad menekankan kepada skuad besutannya dapat bermain variatif dan sedikit lebih ketat. “Menghadapi Persipura, kami tidak bisa menerapkan zona marking karena tim ini mampu mengkombinasikan antara kerja tim dan skill individual. Tim harus pintar, kapan harus bermain ketat dan kapan bermain dengan menahan,” ujar dia lagi.
Pada laga krusial ini, SFC lebih diuntungkan karena tampil dengan kekuatan penuh, sedangkan Persipura akan kehilangan delapan pemainnya yang terkena akumulasi kartu kuning dan cedera.
persib bandung
kilas balik
Sebelum bernama Persib, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetball Bond ( BIVB ) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
Atot ini pulalah yang tercatat sebagai Komisaris daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega didepan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan diluar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara Jakarta.
BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung ( PSIB ) dan National Voetball Bond ( NVB ).
Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub- klub yang bergabung kedalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana,Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.
Di Bandung pun saat itu pun sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang- orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken ( VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib. Seolah- olah Persib merupakan perkumpulan “ kelas dua “. VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah pertandingan- pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib dilakukan dipinggiran Bandung—ketika itu—seperti Tegallega dan Ciroyom.
Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang didalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan dipusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Persib memenangkan “ perang dingin “ dan menjadi perkumpulan sepakbola satu- satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya.Klub- klub yang tadinya bernaung dibawah VBBO seperti UNU dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG ( kini Stadion Persib ), dan Lapangan SPARTA ( kini Stadion Siliwangi ). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.
Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Kegiatan persepakbolaan yang dinaungi organisasi lam dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga diseluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.
Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.
Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar diberbagai kota, sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta.
Pada masa itu prajurit- prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta. Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya.
Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda ( NICA ) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, decade 1950- an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953- 1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah- pindah secretariat. Walikota Bandung saat itu R. Enoch, membangunkan Sekretariat Persib di Cilentah.
Awal Persib memiliki gedung yang kini berada di Jalan Gurame, adalah upaya R. Soendoro, seorang overste replubiken yang baru keluar dari LP Kebonwaru pada tahun 1949. Pada waktu itu, melalui kepengurusan yang dipimpinnya, Soendoro menghadap kepada R. Enoch yang kebetulan kawan baiknya. Dari hasil pembicaraan, Walikota mendukung dan memberikan sebidang tanah di Jalan Gurame sekarang ini.
Pada saat itu, karena kondisi keuangan yang memprihatinkan, Persib tidak memiliki dana untuk membangun gedung, Soendoro kembali menemui Walikota dan menyatakan, “ Taneuh puguh deui, tapi rapat ditiungan ku langit biru,” kata Soendoro.
Akhirnya Enoch juga membantu membangun gedung yang kemudian mengalami dua kali renovasi. Kiprah Soendoro sendiri didunia sepak bola diteruskan putranya, antara lain, Soenarto, Soenaryono, Soenarhadi, Risnandar, dan Giantoro serta cucunya Hari Susanto.
Dalam menjalankan roda organisasi beberapa nama yang juga berperan dalam berputarnya roda organisasi Persib adalah Mang Andun dan Mang Andi. Kedua kakak beradik ini adalah orang lapangan Persib. Tugas keduanya, sekarang ini dilanjutkan oleh putra dan menantunya, Endang dan Ayi sejak 90-an. Selain juga staf administrasi Turahman.
Renovasi pertama dilakukan pada kepemimpinan Kol. CPM Adella ( 1953- 1963 ). Kini sekretariat Persib di Jalan Gurame itu sudah cukup representatif, apalagi setelah Ketua Umum H. Wahyu Hamijaya ( 1994- 1998 ) merenovasi gedung tersebut sehingga menjadi kantor yang memadai untuk mewadahi berbagai kegiatan kesekretariatan Persib.
Kemampuan Persib menjaga nilai- nilai dan tradisinya serta menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tentu tidak lepas dari figur Ketua Umum bukan hanya figur yang berkemampuan mengelola organisasi dalam artian agar organisasi itu terus hidup, melainkan juga figur yang mampu menggali potensi dan mengakomodasikan kekuatan yang ada, sehingga kiprah Persib dalam kancah sepakbola nasional terus berlangsung lewat berbagai karya Persib.
Senin, 03 Mei 2010
sejarah persebaya indonesia
Stadion: Gelora 10 November, Tambaksari
Sejarah
Posisi akhir musim 2008/09: Peringkat 4 Divisi Utama
Nama Stadion: Stadion Gelora 10 November Tambaksari (Kapasitas 30.000)
Tanggal Berdiri: 18 April 1927
Julukan: Bajul Ijo, Green Force
Kelompok Suporter: Bonek Mania
Sejarah Singkat:
Persebaya didirikan pada 18 Juni 1927 dengan nama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond [SIVB]. Tim kota Pahlawan ini juga turut berperan dalam pendirian PSSI. Pada tahun 1943 SIVB berganti nama menjadi Persibaja [Persatuan Sepakbola Indonesia Soerabaja].
Tahun 1960, nama Persibaja diubah menjadi Persebaya [Persatuan Sepakbola Surabaya], dan menjadi salah satu raksasa bersama Persib dan Persija. Prestasi gemilang terus terjaga ketika PSSI menyatukan klub Perserikatan dan Galatama dalam kompetisi bertajuk Liga Indonesia sejak 1994.
Selain ulah suporternya, Persebaya juga selalu diwarnai kontroversi. Saat menjuarai kompetisi Perserikatan pada tahun 1988, Persebaya pernah memainkan pertandingan yang terkenal dengan istilah ’sepakbola gajah’, karena mengalah kepada Persipura Jayapura 12-0 untuk menyingkirkan saingan mereka PSIS Semarang. Taktik ini membawa hasil, dan Persebaya berhasil menjadi juara.
Pada Liga Indonesia 2002, Persebaya melakukan aksi mogok tanding saat menghadapi PKT Bontang dan diskors pengurangan nilai. Kejadian tersebut menjadi salah satu penyebab terdegradasinya Persebaya ke divisi I.
Tiga tahun kemudian atau tahun 2005, Persebaya menggemparkan publik sepak bola nasional saat mengundurkan diri pada babak delapan besar sehingga memupuskan harapan PSIS dan PSM untuk lolos ke final.
Atas kejadian tersebut Persebaya diskors 16 bulan tidak boleh mengikuti kompetisi Liga Indonesia. Namun, skorsing direvisi menjadi hukuman degradasi ke Divisi I Liga Indonesia.
olahraga silat di indonesia
(Berkembang menjadi Perguruan Pencak Silat Pancassera)
Sumber : H. Cucu Sutarya, SH (Guru Besar/Pembina Utama).
Bermula dari kabilah-kabilah Gujarat Persia yang pada abad ke XVI dating ke daerah aceh, selain berniaga mereka juga membawa dan menyebarkan agama serta kebudayaan Islam. Pada abad ini agama Islam mulai masuk ke tanah Aceh. Saudagar-saudagar tersebut mendapat pengetahuan agama dan kebudayaan dari Syekh Sayyidina Ali r.a. Beliau adalah sahabat dan sekaligus menantu Rasulullah Muhammad SAW. Beliau dikenal sebagai seorang ahli dalam strategi perang, terampil dalam mengolah raga, terutama dalam permainan pedangnya yang selalu membuat ciut nyali lawan-lawannya, terutama musuh Islam pada saat itu. Tak heran jika kemudian beliau dijuluki dengan julukan Syaifullah ( Si Pedang Allah).
Saudagar-saudagar inilah yang membawa pengetahuan agama dan kebudayaan itu hingga sampai ke tanah Aceh. Hubungan mereka dengan penduduk asli terjalin dengan baik, terbukti kemudian dengan munculnya seorang tokoh sufi setempat yang dikenal dengan sebutan Nyai Panjate. Nama asli Nyai Panjate adalah Hajja Cut Suriah binti Teuku Syamannur. Suaminya bernama H.Teuku Kaharuddin Solehuddin. Kedua suami istri tersebut mempelajari ilmu agama dan kebudayaan (ilmu silat) dari Kabilah Gujarat Persia. Salah seorang guru mereka adalah murid dari keturunan murid Syekh Sayyidina Ali r.a (Wallahu alam).
Ketika tentara colonial Belanda (VOC) masuk ke tanah Aceh pada tahun 1752 M, kedua suami istri tersebut bekerjasama dengan para pendekar silat lainnya mengadakan perlawanan bersama rakyat untuk mengusir tentara belanda dari bumi Aceh. Pada mulanya mereka berhasil memukul mundur pasukan Belanda, namun dengan siasat licik dengan cara mengadu domba diantara rakyat Aceh, maka tentara Belanda dapat mengetahui kelemahan suami Cut Suriah tersebut. Akhirnya pada saat yang naas bagi Teuku Kaharuddin Solehuddin, Belanda dapat menembak roboh beliau dengan peluru emas, maka gugurlah beliau sebagai seorang syuhada.
Setelah suaminya gugur, Hj. Cut Suriah hijrah ke dalam hutan + 35 km ke pedalaman daerah Bireun. Beliau mengasingkan diri sebagai seorang sufi. Pada waktu sedang hamil muda + 2 bulan. Dalam kehidupan sebagai seorang sufi kebutuhan hidup beliau bergantung kepada alam di sekitarnya. Sesekali beliau berburu dengan alat sedanya, beliau sering menolong orang-orang yang sedang mencari kayu atau hasil hutan lainnya, yang sering digangggu binatang buas seperti harimau, ular, buaya dan lain sebagainya. Sudah sering beliau menyelamatkan orang-orang yang diganggu binatang buas, kemudian lenyap tanpa meningggalkan jejak. Dari mulut ke mulut orang-orang yang pernah ditolongnya mengatakan bahwa adanya wanita berkerudung rapi dengan ilmu silatnya yang tinggi sanggup melumpuhkan binatang buas yang menyerang para pencari hasil hutan, hanya dengan beberapa gerakan saja. Yang karena keahliannya yang sangat mengagumkan sehingga terkenal sebagai seorang wanita berkerudung yang misterius sering menolong tanpa pamrih, kemudian pergi tanpa diketahui identitasnya. Sifat pendekarnya membuat dicari orang untuk berguru, tetapi karena yang masih buas sehingga banyak yang menjadi korban sebelum sampai ke tujuan.
Sekitar abad ke XVII, datanglah seorang laki-laki bernama Bapak Sera, beliau adalah seorang yang gemar sekali bertualang. Dalam petualangannyabeliau banyak sekali menimba ilmu agama dan silat dari berbagai daerah, disamping berniaga sebagai mata pencariannya. Beliau selalu merasa bahwa ilmunya masih saja kurang. Ketika beliau sedang berada di daerah Riau, beliau mendengar berita yang tersiar akan keperkasaan wanita meisterius itu yang membuat Bapak Sera bertekad untuk mencarinya ke tanah Aceh. Untuk mencapai tujuannya, tentu saja harus melalui perjuangan yang amat berat, harus bertarung dengan harimau, ular, babi hutan, begitu juga harus berhadapan dengan buaya setiap menyeberangi sungai. Jarak yang hanya sekitar 30 km itu harus dicapai selama 3 bulan. Seandainya tidak berbekal ilmu silat, mustahil dapat mencapai tujuan.
Rupanya segala sepak terjang Bapak Sera sudah diketahui oleh Ibu Hj. Cut Suriah. Ketika Bapak Sera sedang tertidur lelap terdengar suara takbir adzan dari Hj. Cut Suriah yang dikeraskan, tanda waktu shalat Shubuh telah tiba. Dari atas pohon besar Bapak Sera melihat seorang berkerudung kuning dengan menggendong anak dipunggungnya turun, untuk melaksanakan Shalat Shubuh. Kemudian Bapak Sera pun turun daripohon dan mengucap salam, dibalas salamnya. Kemudian mereka melakukan shalat dengan berjamaah. Sebagai seorang pendekar dan ahli sufi, semua sepak terjang dan tujuan dari Bapak Sera sudah diketahui oleh Hj. Cut Suriah. Sekitar tiga bulan Bapak Sera melayani Hj. Cut Suriah, barulah dengan perjuangan yang ulet mulailah diajarkan ilmu silat oleh Hj. Cut Suriah pada siang hari dan ilmu agama pada malam harinya. Setelah sekitar satu setengah tahun Bapak Sera berlatih, datanglah seorang pemuda yang terdampar, konon khabarnya dari tanah Sulawesi, bernama Lago dan menjadi adik seperguruan dari Bapak Sera.
Kurang lebih 6 tahun berguru kepada Hj. Cut Suriah, Bapak Sera baru mengetahui nama asli gurunya tersebut. Nyai Panjate adalah julukan yang diberikan Bapak Sera, karena setiap menyusui anak perempuannya dengan terbungkus rapi selalu dikebelakangkan. Hj. Cut Suriah bersumpah bahwa putrinya itu tidak akan pernah dilatihilmu silat. Atasm anjuran Sang Guru, Bapak Sera dan Bapak Lagoa dianjurkan untuk kembali pulang ke tanah asalnya karena ilmu yang didapat telah dinilai cukup. Mereka kembali ke tanah Jawa, Bapak Sera ke Bogor dan Bapak Sera ke Tanjung Priuk, tepatnya daerah Lagoa sekarang, daerah itupun berasal dari nama beliau karena wafat dan dimakamkan disana.
Dalam pengembaraannya, Bapak Sera bertemu dengan dengan seorang pedagang kain dari Mongol yang bernama Yu Sak Liong, yang kemudian menjadi majikan Bapak Sera dalam berniaga. Bah Yu Sak Liong adalah seorang Muslim yang lebih dikenal dengan nama Bah Yusa. Mereka berniaga berkeliling sampai ke tanah Aceh. Awal perkenalan mereka dimulai ketika saat Bapak Sera sedang menurunkan bal gulungan kain, tiba-tiba, satu gulungan kain tersebut jatuh dan akan menimpa dirinya. Namun dengan gerakan tangannya, Bapak Sera berhasil menagkis bal gulungan kain tersebut, hingga bal gulungan kain tersebut yang beratnya puluhan kilo tersebut mental terkena tangkisannya dan tak sengaja melayang menuju kea rah BahYusa. Namun dengan gerakan kakinya, Bah Yusa menyambut bal gulungan kain tersebut dan menendangnya kearah tempatsemula. Bah Yusa sangat kagum menyaksikan gerakan Bapak Sera yang hanya dengan sedikit saja menggerakan tangan, dapat menyelamatkan diri, karena jika orang lain yang mengalaminya pasti sudah cedera berat. Akhirnya mereka berkenalan dan sepakat untuk tukar pikiran dalam hal ilmu mereka masing-masing.
Bah Yu Sak Liong ahli dalam beladiri menggunakan kaki sesuai dengan negeri asalnya yakni Mongol, sedangkan Bapak Sera ahli dalam menggunakan tangan. Mereka mengadu ilmu kurang lebih tiga hari tiga malam, dengan istirahat untuk mengerjakan shalat. Tak ada yang unggul dalam adu ilmu tersebut, Bah Yu Sak Liong hangus kakinya, sedangkan Bapak Sera hangus pula tangannya. Akhirnya mereka sepakat untuk mengabungkan ilmu mereka. Sejak saat itu maka bertambahlah ilmu silat Bapak Sera dan Bah Yu Sak Liong. Ilmu mereka kemudian dikenal dengan Aliran Sera, sesuai dengan nama penemunya yaitu Bapak Sera. Bah Yu Sak Liong kemudian kembali ke Mongol dan Bapk Sera meneruskan pengembaraannya.
Suatu ketika Bapak Sera menyaksikan seorang pedagang kain keliling dari Cina Shantung sedang dikeroyok olehsekelompok penyamun yang bermaksud merampoknya, namun Cina tersebut dengan gesit dan lincah dapat mengalahkan para penyamun tersebut dengan hanya bersenjatakan meteran kainnya sebagai senjata toya. Permainan toyanya sangat mengagumkan, sampai-sampai bapak sera tidak beranjak dari tempatnya menyaksikan permainannya. Namun naas bagi Cina tersebut, ketika sedang bertarung, kakinya dipatuk seekor ular berbisa. Dia pinsan dan ditolong dan diobati oleh Bapak Sera hingga sembuh. Sebagaitanda terima kasih, Cina tersebut meberikan seluruh kain dagangannya kepada Bapak Sera, namun ditolak, meskipun demikian Bapak Sera tidak dapat menyembunyikan keinginannya untuk belajar ilmu toyanya.
Maka dengan senang hati Cina Shantung tersebut mengajarkan ilmu toyanya kepada Bapak Sera dan dalam waktu singkat telah dapat dapat menguasai ilmu toya tersebut. Malah sebelum Cina Shantung tersebut kembali ke negeri asalnya, dia berkenan menurunkan seluruh ilmunya kepada Bapak Sera dan mereka berdua mengangkat saudara. Bapak Sera mengembangkan ilmunya sesuai dengan keadaan waktu itu, konon khabarnya beliau bermukim hingga wafat dimakamkan di Tegal Harendong Rumpin Ciampea Bogor.
Salah seorang murid Bapak Sera yang paling menonjol adalah Bapak Mursyid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bah Ocid yang berasal dari Kebonmanggis. Beliau inilah yangmengembangkan Aliran Sera pada abad ke XVIII di daerah Bogor dan sekitarnya. Ciri-ciri fisik Bah Ocid, tinggi sekitar 157 cm, rambut panjang sebahu, kuku tangan dan kaki sekitar 7 cm, sehingga kalau berjalan, aka nada bekas kuku kakinya menggores jalan yang dilaluinya. Tak banyak hal ikhwal Bah Ocid, untuk lembih komplitnya kami masih berusaha mencari datanya dari berbagai sumber. Konon Bah Ocid ini selain menguasai Silat Sera, juga mempelajari ilmu istijrad. Kuku tangan dan kakinya dibiarkan panjang karena tak bias dipotong, begitu pula rambutnya, mandi hanya dapat dilakukan setahun sekali yakni pada Bulan Maulud, hal ini disebabkan ilmu istijradnya tersebut yang menyebabkannya. Pantangan ini kalau dilanggar akan menyebabkan badan Bah Ocid menjadi hitam dan gatal-gatal. Jika Bah Ocid sedang tidur, tak seorangpun berani membangunkannya, sebab dapat berakibat fatal, karena refleknya yang sudah menyatu, walaupun sedang tidur, Bah Ocid dapat membuat orang yang membangunkannya jatuh tunggang langgang. Kalau terpaksa orang yang membangunkannya harus memakai galah atau tongkat panjang, itupun bisa patah-patah karena refleknya.
Sepengetahuan Bapak Sera bahwa Hj. Cut Suriah tidak pernah mengajarkan ilmu hitam, adapun ilmu-ilmu hitam yang dipunyai oleh Guru-guru Sera adalah hasil pelajaran dari Guru-guru sebelumnya, karena berguru Silat Sera, fisik harus kuat dahulu, seperti Bah Ocid, sebelumnya sudah mempunyai ilmu kebal, kejayaan, Batara Karang dan lain sebagainya.
Peristiwa Bapak Sera rupanya juga dialami oleh Bah Ocid, yakni pernah mengadu ilmu dengan seorang Cina seorang pedagang koyo bernama Babah Tong, yang juga mahir ilmu silat. Merekamengadu ilmu di pinggir kali Cipakancilan di Jalan Paledang, di depan Asrama Tentara yang sekarang menjadi Kantor Dinas Pekerjaan Umum Propinsi. Babah Tong mengakui keunggulan Bah Ocid, setelah itu hubungan mereka tetap berjalan baik. Babah Tong menganggap Bah Ocid sebagai kakak sperguruannya. Kata Pabaton sekarang adalah berasal dari nama beliau, karena tinggal disana. Bah Ocid banyak mempunyai murid, tetapi jarang yang sampai kepada ajaran terakhirnya yaitu yang disebut Sera Geni, Gerak Rasa Sera, Rasa Diri Sera dan Sera Manjak Pamungkas, yang merupakan filsafat Silat Sera. Kebanyakan hanya sampai pada Langkah Opat Lipet, Kombinasi dan Tilu Eusi (Tiga Isi) beserta fungsinya atau istilah Ajaran Sera disebut Rusiah (Rahasia).
Dalam hal ini hanya Bapak H. Ali Yoenoes Bin Kartadiredja, yang sampai kepada Langkah Pamungkas. Beliau sebelum menjadi murid Silat Sera dari Bah Ocid terlebih dahulu banyak belajar dari guru-guru silat terkenal di seluruh Tanah Jawa, diepkirakan tidak kurang dari 11 (sebelas) orang gurunya. Dengan bermodalkan silat-silat itulah baru dapat berguru kepada Bah Ocid, konon khabarnya, setiap beradu fisik dengan Bah Ocid, kalau tidak berilmu tentulah anggota badan yang terkena benturan akan menjadi hitam legam (tampak hangus). Bapak H. Ali Yoenoes berasal dari Jombang, Jawa Timur, beliau malang melintang di dunia persilatan sejak abad ke XVII dan XIX, karena beliau panjang umurnya sampai mencapai usia 103 tahun. Beliau pernah dicoba oleh para pendekar berbagai daerah, namun Alhamdulillah belum pernah kalah. Dahulu Pemerintah Kolonial Belanda sengaja mengadu domba para pendekar silat. Mereka diharuskan bertarung sampai mati, dengan perjanjian tidak ada tuntutan apapun dari pihak keluarga korban, dibawah panggung sudah disediakan keranda mayat. Belanda sengaja mengadakan hal tersebut dengan maksud agar para pendekar silat tersebut tumpas dengan sendirinya, hingga tidak ada yang ditakuti lagi oleh pihak Belanda. Acara tersebut diadakan setiap tahun bertempat di dalam Istana Kebun Raya Bogor, dalam memperingati Ulang Tahun Ratu Belanda, Ratu Wilhemina.
Pada awal mulanya Bapak H. Ali Yoenoes tidak menyadari siasat licik dari pihak Belanda tersebut, maka pada setiap bertanding beliau pasti membunuh lawannya, tak kurang, 19 orang mati ditangannya. Tetapi akhirnya beliau menyadari akan hal ini, maka setiap kali bertarung, beliau tidak sampai membunuh lawannya yang kalah, namun cukup hanya dilukai saja dan kemudian menyuruh lawannya tersebut untuk melarikan diri. Tindakan ini lama kelamaan tercium juga oleh pihak Belanda dan akhirnya Bapak H. Ali Yoenoes untuk selanjutnya tidak diperkenankan ikut pertandingan lagi, malahan beliau ditahan selamapertandingan berlangsung. Para pendekar yang beliau selamatkan pada pertandingan tersebut, setiap Hari Idhul Fitri dan Bulan Maulud selalu berkumpul dan bersilaturahmi di rumah Bapak H. Ali Yoenoes di Gang Selot Paledang, sebagai rasa syukur dan tanda terima kasih telah diselamatkan nyawanya. Bapak H. Ali Yoenoes belajar silat pada Bah Ocid sekitar 9 tahun dan beliau melatih selama 21 tahun.
Bapak H. Ali Yoenoes menunaikan ibadah haji pada tahun 1969. Salah seorang putra beliau yang turut mengembangkan Silat Sera adalah Bapak Abdulrachman, atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Komang dan di dunia persilatan dijuluki Si Girimis, karena kecepatan tangan beliau yang kalau mencecar lawan seperti hujan gerimis, putra lainnya adalah H. Rachmat atau lebih dikenal dengan nama Pak Memet. Bapak H. Ali Yoenoes bin Kartadiredja meninggal pada tahun 1971 dalam usia 103 tahun, yang kemudian disusul oleh putranya yakni Bapak Abdulrachman pada tahun 1983 dalam usia 64 tahun.
Salah satu murid yang dilatih oleh Bapak H. Ali Yoenoes dan Pak Komang adalah Bapak H. Cucu Sutarya, SH Bin Tubagus Baban Sidik Ismaya. Beliau mulai berlatih pada Bapak H. Ali Yoenoes sejak tahun 1957 hingga tahun 1968 dan mengembangkannya hingga sekarang. Bapak H. Cucu Sutarya, SH menunaikan ibadah haji pada musim haji tahun 1998, sekitar bulan Maret-April (Tahun 1418 Hijriah). Beliau pernah pula menimba ilmu dari berbagai sumber lain seperti karate (Dan II Internasional) yudo, tinju (pernah juara tinju kelas bantam pada PON di Surabaya), kuntau, yuyitszu, dan silat dari perguruan lain seperti Aliran Cikalong, Syahbandar, Pamacan, Cimande, Ajrak. Hal ini dilakukan atas anjuran dari Bapak H. Ali Yoenoes sebagai bahan pembanding dan sebagai ilmu tambahan saja, tetapi loyalitas tetaplah terpusat pada Silat Sera yang kemudian beliau kembangkan menjadi Perguruan Pencak Silat PANCASSERA (Lima Silat Sera, yaitu Sera Banyu, Sera Ringkus, Sera Bayu, Sera Putih dan Sera Geni). Khusus untuk para Pelatih diajarkan Gerak Rasa dan Rasa Diri sebagai Langkah (Jurus Panjang) terakhir dari Aliran Silat Sera. Bapak H. Cucu Sutarya, SH mendapat kepercayaan langsung dari Bapak H. Ali Yoenoes untuk meneruskan perguruan. Beliau resmi mulai melatih sejak tahun 1968 di Bandung dan di Garut, kemudian di Bogor sampai sekarang. Hanya kepada beliaulah Bapak H. Ali Yoenoes menurunkan seluruh ilmunya hingga tuntas untuk dikembangkan dan diteruskan. Dengan demikian pewaris dan penerus satu-satunya adalah Bapak H. Cucu Sutarya, SH.
Guru-guru lain dari Bapak H. Cucu Sutarya, SH adalah :
1. H. Adra’I Cianjur Selatan (Pengurutan dan Patah Tulang)
2. Kyai H. Baing Bakri Pasarean Cianjur (Cikalong)
3. Bah Rumanta Garut (Syahbandar)
4. Bah Djadja Gunungbatu Bogor (Pamacan)
5. Bah Maun Dreded Bondongan (Sera Pamacan)
6. Bah Enuh Tarogong Garut (Ajrak)
7. Liem Sen Thong Bogor (Kuntau dan Akunktur)
8. Meneer Ong Bogor (Yudo dan Yuyitszu)
9. Mr. Matsunaga Osaka Jepang (Karate)
10. Endang Ukaedi Bogor (Tinju)
Perguruan Silat Pancassera menjadi anggota IPSI pada tahun 1976. Sampai saat ini perguruan telah banyak berkembang, bahkan sampai keluar Pulau Jawa yakni di Kalimantan dan Maros, Sulawesi Selatan. Di Jawa sendiri Silat Sera tersebar luas, mulai dari Garut, Bandung, Bogor, Sukabumi, Depok, Jakarta dan di mancanegara di Amerika Serikat, Norwegia dan khusus di Belanda ada murid Bapak H. Ali Yoenoes yaitu Keluarga Van de Vries.
Pada perguruan Silat Pancassera khusus diajarkan :
• Ilmu beladiri Sera tangan kosong
• Ilmu beladiri senjata : golok tunggal, golok ganda, gobang (sejenis pedang), gada, toya panjang, toya pendek, ruyung pendek, ruyung panjang, toya pendek, toya panjang, trisula, tongkat rantai dua, rantai tiga (double stick, triple stick), pisau terbang, cambuk, cemeti, clurit dan kombinasi senjata-senjata tersebut)
• Pengurutan keseleo, patah tulang.
• Tusuk jari, tusuk jarum (akupunktur.
• Peramuan obat-obatan tradisional.
• Seni pernapasan.
Kami menghimbau kepada para pengembang Aliran Silat Sera untuk dapat bersilaturahmi dengan Perguruan-perguruan Silat Sera lainnya dimana saja berada, apapun nama perguruannya dengan Perguruan Pencak Silat PANCASSERA yang sumbernya sama. Dimana khas Silat Sera yaitu jurus-jurusnya banyak dikenal dengan jurus dari huruf Arab dan Cina, seperti : Alif, Ba, Lam Alif (dari huruf Arab), Bekuih, Lokbeh (Loh Beh), Wa Lung Wang (Balungbang, dari Bahasa Cina) dan lain sebagainya.
Demikian Sejarah singkat Aliran Silat Sera yang kini bernama PERGURUAN PENCAK SILAT PANCASSERA, wallahu alam (Hanya Allah Yang Maha Tahu), akan segala kejelasan serta kebenarannya.